Name : Mustika Raudhatul Jannah
NPM :17614651
SEJARAH PUBLIC SPEAKING
Sebelum ada
istilah Public Speaking, maka lahirlah istilah Retorika, sebelum
masehi-SM di Yunani, yang artinya “keakhlian berbicara atau
berpidato” Dalam perkembangan retorika mengenal tiga bentuk yaitu:
Demi penemuan
kebenaran (Socrates, disebut Bapak Retorika)
Demi kekuasaan
ataupun kemenangan saja (sesuai dengan filsafat Sophisme)
Sebagai alat persuasi
yang banyak menggunakan penemuan-penemuan terakhir bidang ilmu Jiwa dan
karenanya mulai menggunakan nama “Scientific rhetoric”
Dilihat dari sejarah, manusia mempunyai hasrat dan kebutuhan untuk menyampaikan
segala perasaan, pengalaman dan pendapat-pendapatnya kepada sebanyak mungkin
orang disamping menceritakan kepada orang tertentu. Dalam penyebaran agama pada
abad ke 5, ke Mesir, Babylonia dan Persia, yang dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai bakat retorika, karena tanpa bakat berbicara pada waktu itu, maka
pesan yang akan disampaikan belum tentu dapat diterima dan dimengerti.
·
Socrates (c.469-3998 SM)
·
Plato (427-347 SM),
Plato sebagai seorang pendidik, mengatakan retorika penting
sebagai:
1.
Metode pendidikan
2.
Alat untuk mencapai kedudukan dalam pemerintahan
3.
Alat mempengaruhi rakyat
·
Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles mengajarkan dalam retorika orang harus
mengatakan dengan:
1.
Jelas
2.
Singkat dan
3.
Meyakinkan.
Teori Retorika
berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai
alat persuasi yang tersedia (West & Turner). Atau Retorika tidak lain
daripada kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi
tertentu, metode persuasi yang ada (Rakhmat, Retorika Modern, hal.7)
Asumsi
Teori Retorika dari
Aristoteles ini dituntun oleh dua asumsi berikut ini :
1.Pembicara yang
efektif harus mempertimbangkan khalayak mereka
2.Pembicara yang
efektif menggunakan beberapa bukti dalam persentasi mereka
Dale Carnegie tidak
mungkin bisa dihindari. Dale Carnegie adalah salah satu pioner dalam bidang
public speaking dan self development di dunia. Buku karangan beliau pada tahun
1936 yang berjudul How to Win Friends and Influence People masih
menjadi best seller sampai hari ini.
Dale Carnegie
lahir di Amerika pada tahun 1888.
Persiapan merupakan langkah awal dan langkah
terpenting dalam proses public speaking. Dalam buku Public Speaking for
Success, Dale Carnegie mengatakan bahwa lakukan persiapan dengan
memikirkannya selama 7 hari dan memimpikannya selama 7 malam. Beliau juga memberikan
contoh tentang bagaimana seorang public speaker hebat yang juga merupakan
mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln mengerahkan banyak tenaga
untuk melakukan persiapan sebelum berpidato. Tidak dapat dipungkiri bahwa
persiapan yang baik merupakan sebuah hal yang sangat penting bahkan pembicara
hebat seperti Abraham Lincoln melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Tujuan utama dari setiap pembicara adalah menyampaikan
pesan kepada audiens. Pesan tersebut bisa berupa informasi, himbauan, ajakan,
dan sebagainya. Jadi hal terpenting yang harus diperhatikan seorang pembicara
adalah bagaimana caranya supaya pesan tersebut dapat sampai kepada audiens.
Dale Carnegie memberikan sebuah metode yang sangat efektif berupa pengulangan
yaitu dengan mengucapakan pesan yang akan Anda sampaikan, kemudian mengucapkan
pesan tersebut, dan terakhir mengulangi pesan tersebut sekali lagi.
Komunikasi merupakan
proses transaksional. Dalam konteks public
speaking, Aristoteles
menyatakan bahwa hubungan antara pembicara-khalayak harus dipertimbangkan. Para
pembicara tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa
mempertimbangkan khalayak mereka. Para pembicara harus, dalam hal ini, berpusat
pada khalayak. Mereka harus memikirkan khalayak sebagai sekelompok orang yang
memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan bukannya sebagai sekelompok besar
orang yang homogen dan serupa. Aristoteles merasa bahwa khalayak sangat penting
bagi efektivitas seorang pembicara. Ia menyatakan, “Dari tiga elemen dalam
penyusunan pidato – pembicara, subyek, dan orang yang dituju – yang
terakhirlah, para pendengar, yang menentukan akhir dan tujuan dari suatu
pidato” (dikutip dalam Roberts, 1984, hal.2159, dalam West&Turner hal. 7).
Asumsi yang kedua
yang mendasari teori Aristoteles berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara
dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti
yang dimaksudkan oleh Aristoteles ini merujuk pada cara-cara persuasi, dan bagi
Aristoteles, terdapat tiga bukti: ethos, pathos, dan logos. Ethos merujuk pada
karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara
ketika hal-hal ini ditunjukan melalui pidatonya. Aristoteles merasa bahwa
sebuah pidato yang disampaikan oleh seseorang yang terpercaya akan lebih persuasif
dibandingkan pidato seseorang yang kejujurannya dipertanyakan. Michael Hyde
(2004) menyatakan bahwa Aristoteles yakin bahwa ethos merupakan bagian dari
kebaikan orang lain, dan karenanya, “dapat dilatih dan dijadikan kebiasaan”.
Logos adalah bukti-bukti logis yang digunakan oleh pembicara – argumen mereka,
rasionalisasi, dan wacana. Pathos berkaitan dengan emosi yang dimunculkan dari
para pendengar. Aristoteles berargumen bahwa para pendengar menjadi alat
pembuktian ketika emosi mereka digugah; para pendengar menilai dengan cara cara
berbeda ketika mereka dipengaruhi oleh rasa bahagia, sakit, benci, atau takut.
Aristoteles
mengidentifikasi unsur-unsur dasar dari pidato yang baik dan persuasi sebagai
Ethos, Logos, dan Pathos. Ethos (kredibilitas, keterpercayaan) dari pembicara
menurut Aristoteles sangat penting, Logos (logika) dibalik semua penjelasan
yang dipaparkan oleh pembicara, isi dari presentasi haruslah valid dan jelas
dan pathos (daya tarik emosional) ini adalah unsur penting untuk membangun
hubungan antara pembicara dan pendengar.
Sekitar 2.500 tahun
yang lalu di Athena kuno, para pemuda diminta untuk memberikan pidato yang
bagus sebagai bagian dari tugas mereka sebagai warga negara. Di zaman
itu demokrasinya sudah maju, jadi wajar bila pemuda-pemudinya harus mampu
berbicara. Agar mereka bisa membawa keluhan-keluhan mereka ke pengadilan dan mendebatkan
kasus meraka.
Ilmuan-ilmuan zaman
dulu juga, berbeda pandangan untuk apa public speaking diantaranya adalah
Demokrasi saat
berkembang saat itu semua warga harus mampu berbicara dalam legislatif dan
bersaksi di pengadilan. Warga bertemu di Sidang besar di pasar (agora) untuk
membahas isu-isu perang dan ekonomi dan politik.Ditambah dengan lembaga
Pengadilan Rakyat oleh Sage, Solon, di 594-593 SM, dimana warga bisa
membawa keluhan-keluhan mereka ke pengadilan dan berdebat kasus mereka. Saat
itu, tidak ada pengacara dan karena orang sering menggugat satu sama lain ,
sehingga penting bagi setiap warga negara untuk memiliki kemampuan
komunikasi untuk dirinya dan keluarganya.
Secara sederhana,
public speaking dapat didefinisikan sebagai proses berbicara kepada sekelompok
orang dengan tujuan untuk memberi informasi, mempengaruhi (mempersuasi)
dan/atau menghibur audiens. Banyak orang menyebut public speaking sebagai
“presentasi”. Seperti layaknya semua bentuk komunikasi, berbicara di depan
publik memiliki beberapa elemen dasar yang paralel dengan model komunikasi yang
dikemukakan oleh Laswell yakni komunikator (pembicara), pesan (isi presentasi),
komunikan (pendengar/ audiens), medium, dan efek (dampak presentasi pada
audiens). Tujuan berbicara di depan publik bermacam-macam, mulai dari
mentransmisikan informasi, memotivasi orang, atau hanya sekedar bercerita.
Apapun tujuannya, seorang pembicara yang baik dapat mempengaruhi baik pemikiran
maupun perasaan audiensnya. Dewasa ini, public speaking sangat diperlukan dalam
berbagai konteks, antara lain dalam kepemimpinan, sebagai motivator, dalam
konteks keagamaan, pendidikan, bisnis,customer service, sampai komunikasi massa
seperti berbicara di televisi atau untuk pendengar radio.
Retorika adalah seni
sekaligus ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa dengan tujuan menghasilkan
efek persuasif. Selain logika dan tata bahasa, retorika adalah ilmu wacana yang
tertua yang dimulai sejak zaman Yunani kuno. Hingga saat ini, retorika adalah
bagian sentral dalam pendidikan di dunia Barat. Kemampuan dan keahlian untuk
berbicara di depan audiens publik dan untuk mempersuasi audiens untuk melakukan
sesuatu melalui seni berbicara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
pelatihan seorang intelektual (Johnstone, 1995). Retorika sebagai cabang ilmu berkaitan
erat dengan penggunaan simbol-simbol dalam interaksi antar manusia.
Dalam sistematisasi retorika Aristoteles, aspek terpenting dalam teori dan
dasar pemikiran retorika adalah tiga jenis pendekatan untuk mempersuasi
audiens, yakni logos, pathos dan ethos. Logos adalah strategi untuk meyakinkan
audiens dengan menggunakan wacana yang mengedepankan pengetahuan dan
rasionalitas (reasoned discourse), sementara pathos adalah pendekatan yang
mengutamakan emosi atau menyentuh perasaan audiens dan ethos adalah pendekatan
moral—menggunakan nilai-nilai yang berkaitan dengan keyakinan audiens. Di abad
ke-20, retorika berkembang menjadi sebuah cabang ilmu pengetahuan dengan
berkembangnya pengajaran tentang komunikasi publik dan retorika di
sekolah-sekolah menengah dan universitas-universitas pertama di Eropa dan
kemudian meluas hingga kawasan-kawasan lain di dunia. Harvard, sebagai
universitas pertama di Amerika Serikat, misalnya, telah lama memiliki kurikulum
mata kuliah dasar sebagai Retorika sebagai salah satu mata kuliahnya (Borchers,
2006). Dengan berkembangnya ilmu komunikasi, pembelajaran retorika lebih meluas
lagi. Saat ini, retorika dipelajari dalam ruang lingkup yang luas dalam bidang
pemasaran, politik, komunikasi, bahkan bahasa (linguistik). Propaganda menjadi
fenomena retorika yang sangat menarik. Ketika orang berlomba-lomba mendesain
kata-kata untuk mempengaruhi orang lain, itu membuktikan bahwa seni merangkai
pesan sangat berpengaruh dalam berkomunikasi.
Tokoh-tokoh retorika mutakhir:
James A. Winans dalam bukunya “public speaking”( 1917) menggunakan spikologi dari
Williams James dan E.B Tichener. Sesuai teori James bahwa tindakan ditentukan
perhatian, Winans mendefinisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan
perhatian. Pentingnya membangkitkan emosi melalui motif- motif psikologi
seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Winans
adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
Charles Henry Woolbert yang juga pendiri Speech Communication
Association of America. Psikologi yang memengaruhinya adalah behaviorisme dari
John B.Watson. Woolbert memandang Speech Communication sebagai ilmu tingkah
laku. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama
persuasi. Dalam menyusun persiapan pidato harus diperhatikan hal-hal sebagai
berikut: (1) Teliti tujuannya, (2) Ketahui khalayak dan situasinya, (3)
Tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) Pilih
kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya, The Fundamental of Speech.
William Noorwood Brigance. Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika,
Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. Persuasi
meliputi empat unsur: 1) Rebut perhatian pendengar, 2) Usahakan pendengar untuk
mempercayai kemampuan dan karakter anda, 3) Dasarkanlah pemikiran pada
keinginan, dan 4) Kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
Alan H.Monroe dalam bukunya, Principles and Types of Speech. Pertengahan tahun
20-an Monroe bersama stafnya meneliti proses motivasi. Jasa, Monroe, cara
organisasi pesan. Menurut Monroe pesan harus disusun berdasarkan proses
berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.